A. Pendahuluan
Candi Sukuh merupakan salah satu
obyek wisata yang menarik. Tetapi, hanya sebagian masyarakat Indonesia yang
mengetahui keberadaan candi ini. Letaknya yang jauh di lereng Gunung Lawu
menjadikan obyek wisata ini menjadi salah satu alasannya. Candi Sukuh merupakan
candi yang unik. Bentuknya yang lain dari candi hindu pada umumnya dan
masih banyak sejarah dari Candi ini yang belum terungkap. Ada pula yang
mengatakan bahwa Candi ini merupakan salah satu peninggalan Suku Maya di
Amerika Serikat. Dan masih banyak lagi misteri yang disimpan oleh Candi ini.
Sehingga banyak sekali yang perlu digali dari obyek wisata ini. Seperti
sejarah, ilmu pengetahuan dan tentunya potensi yang ada untuk dikembangakn
menjadi obyek wisata yang lebih baik lagi.
Candi Sukuh berada di Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, 27 Km arah timur dari kota Karanganyar, terletak pada ketinggian
910 meter diatas permukaan air laut. Menurut cerita
sejarah, candi sukuh dibangun sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu
Tantrayana. Candi ini ditemukan pada masa pemerintahan Britania Raya di
tanah Jawa tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Kala itu Johnson
ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data untuk
bahan penulisan bukunya “The History of Java”.
Setelah masa pemerintahan
Britania Raya berlalu, tahun 1842 Van der Vlis yang berwarganegara Belanda
kembali melakukan penelitian dan melakukan pemugaran candi pada tahun
1928. Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu sesungguhnya
merupakan candi yang sangat menarik untuk dikunjungai selain bentuk fisik dan
ornament-ornamennya yang memukau tetapi juga posisi yang pas untuk melihat
pemandangan indah di sekitarnya dengan udara yang sejuk Pegunungan Lawu.
Masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu) mengingat relief-relief
pada dindingnya menggambarkan secara vulgar organ pria dan wanita.
B. Pembahasan
1. Sejarah Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di lereng
Gunung Lawu. Letaknya di tempat ketinggian dan sulit dicapai menunjukan
semangat religius yang tinggi para pendukungnya. Prasasti yang ditemukan
menunjukan abad XV atau masa kerajaan Majapahit oleh Raja Brawijaya V yang
berkuasa di Jawa Tengah. Ditinjau dari latar belakang pendirian candi sukuh
adalah untuk menunjang kegiatan upacara agama hindu. Hal ini juga dapat menjadi
bukti keberadaan dan kelangsungan pengaruh india yang ikut memperkaya
kebudayaan Indonesia. Ornamen- ornamen dan relief-reliefnya menunjukan hal-hal
yang dilakukan manusia dan cerita tentang Kidung Sudamala. Seperti pada ukiran
gerbang pertama ada relief burung garuda dan relief alat kelamin perempuan dan
laki-laki di lingkari oleh rantai. Pemilihan tempat yang berada dilembah yang
digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan hindu mencerminkan adanya
kesinambungan budaya antara kepercayaan tradisional dengan kebudayaan hindu.
Candi sukuh memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh candi-candi lain.
Struktur bangunannya boleh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur
Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur
sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah
tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari
aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika
Candi Sukuh dibuat, Era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang
surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi
yaitu kebudayaan prahistori kebudayaan Megalithik, sehingga mau tak mau
budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri
pada candi Sukuh ini. Candi Sukuh dibangun dalam tiga teras. Teras yang pertama
terdapat gapura utama dengan ornamen sebuah candrasangkala yang berbunyi gapura
buto abara wong, artinya “Raksasa memangsa manusia”. Kata-kata dari relief ini
memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik menjadi tahun 1359 Saka atau tahun
1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan
lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya
(Parwati). Pada teras kedua juga dijumpai gapura yang kondisinya sudah tidak
beraturan. Bagian kanan dan kiri terdapat patung penjaga pintu atau disebut
dwarapala. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala yang berbunyi gajah
wiku anahut buntut. Artinya “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata dari
relief ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1, jika dibalik bermakna tahun
1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Pada teras ketiga Candi Sukuh terdapat
pelataran besar dengan sebuah candi induk dan beberapa patung di sebelah kanan
serta beberapa relief di sebelah kirinya. Bila kita menaiki anak tangga pada
lorong gapura, kita akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di
lantainya yang menggambarkan phallus
berhadapan dengan vagina. Konon,
laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat
datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut.
Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka
selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi,
maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan
terlepas. Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian
dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab
pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan)
di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi
dan penjelmaan Dewa Wisnu. Candi utama yang berbentuk piramida yang puncaknya
terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk
mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.
2.
Sejarah Singkat Penemuan
Situs
candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania
Raya
di tanah Jawa
pada tahun 1815
oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles
untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java.
Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842,
Van der Vlis, arkeolog Belanda,
melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
3. Lokasi
Candi Sukuh terletak tepat pada
koordinat 07037, 38’ 85” LS dan 111007, 52’ 65” BT. Lebih
tepatnya secara administratif Candi Sukuh berada di Dukuh Berjo, Desa Sukuh,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karang Anyar, Provinsi Jawa Tengah. Candi Sukuh
juga berada di lereng Gunung Lawu di ketinggian 1.186 Meter di atas permukaan
laut. Untuk mencapai lokasi ini, para pengunjung bisa mengaksesnya melalui kota
Surakarta dengan jarak kurang lebih 36 KM, atau melalui Kota Karanganya sekitar
20 KM.
4.
Harga Tiket Masuk Candi Sukuh
No.
|
Wisatawan
|
Harga
(Rp.)
|
1.
|
Domestik
|
3.000,-
|
2.
|
Mancanegara
|
30.000,-
|
Dengan membayar tiket
hanya Rp. 3.000,- kita sudah bisa menikmati keindahan situs bersejarah ini.
Tempatnya tidak begitu besar seperti Candi Prambanan apalagi Borobudur. Sedikit
info tentang Candi Sukuh, situs purbakala ini dotemukan oleh Residen Surakarta
”Yohson” pada masa penjajahan Inggris dan berjarak 27 km dari Karanganyar.
Dibangun sekitar abad XV di ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Candi ini
terdiri dari 3 trap yang setiap trap terdapat gapura.
5.
Struktur Bangunan Candi
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang
mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh
berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di
Jawa Tengah
lainnya yaitu
Candi Borobudur dan
Candi
Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan
budaya Maya di
Meksiko
atau peninggalan budaya Inca di
Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan
bentuk-bentuk
piramida
di
Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur
Belanda,
W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba
menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat
Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan
dari kalangan
keraton.
Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga,
keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan
Majapahit,
tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah. Para pengunjung yang
memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk
arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring,
berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna
agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis
andesit.
6.
Teras Pertama Candi
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada
sebuah
sengkala
memet dalam
bahasa Jawa yang berbunyi
gapura buta aban wong
("raksasa gapura memangsa manusia"), yang masing-masing memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (
1437 Masehi). Angka
tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini, meskipun lebih
mungkin adalah tahun selesainya dibangun gapura ini. Di sisi sebelahnya juga
terdapat relief sengkala memet berwujud gajah bersorban yang menggigit ekor
ular. Ini dianggap melambangkan bunyi
gapura buta anahut buntut
("raksasa gapura menggigit ekor"), yang juga dapat ditafsirkan
sebagai 1359 Saka.
7.
Relief Sengkala pada Gapura
8.
Teras Kedua Candi
Gapura pada teras kedua
sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau
dwarapala yang biasa ada, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas
bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat
banyak patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala
dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti
“Gajah pendeta menggigit ekor” dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki
makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456
Masehi.
9.
Teras Ketiga Candi
Pada teras ketiga ini
terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa panel berelief
di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Tepat di atas candi utama
di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan
tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan,
dupa
dan hio
yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian panel dengan relief
yang menceritakan mitologi utama Candi Sukuh, Kidung Sudamala.
Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
a.
Panel Pertama
Di bagian kiri
dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang
termuda dari para Pandawa
Lima.
Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua.
Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh
oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama
ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira,
Bima
dan Arjuna.
Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang
punakawan
atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu
Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
b.
Panel Kedua
Pada relief kedua ini
dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa
wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan
Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh
Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena
tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai para raksasa berwajah
buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang
karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada
Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah
kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan
ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit)
tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.
c.
Panel Ketiga
Pada bagian ini
digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di
pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.
d.
Panel Keempat
Adegan di sebuah taman
indah memperlihatkan sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan
putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra
berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
e.
Panel Kelima
Panel ini menggambarkan
adegan adu kekuatan antara Bima
dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Relief hanya menunjukkan salah satu
dari kedua raksasa. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat
raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya. Inskripsi bertulisan aksara
Kawi
berbahasa Jawa Kuna,
berbunyi padamel rikang buku[r] tirta sunya, yang merupakan sengkalan
berarti 1361 Saka (1439 M).
f.
Patung-patung
Sang Garuda
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung
Garuda yang
merupakan bagian dari cerita pencarian
tirta amerta (air
kehidupan) yang terdapat dalam kitab
Adiparwa, kitab
pertama
Mahabharata.
Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah inskripsi (tatahan tulisan)
berbunyi
lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong medang ki hempu rama
karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara mari setra hanang tang
bango menurut bacaan Darmosoetopo (1984). Pada intinya inskripsi ini
merupakan
suryasengkala
yang melambangkan tahun 1363 Saka (1441 M).
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut
di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan
penjelmaan Dewa
Wisnu.
Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain
sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong
melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk
lautan mencari tirta amerta.
g.
Beberapa Bangunan dan Patung
Lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta
relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng
(babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum
bangsawan berwahana gajah. Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan
dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kiri dan kanan yang berhadapan satu
sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang
wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan
melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas. Kemudian ada sebuah
bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian
tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala.
Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi
sesajian.
10. Pengelolaan
Candi Sukuh mulai dijadikan obyek
wisata sejak bulan November 2003. Merupakan kerjasama antara Dinas Kabupaten
Karang Anyar dengan BP3 Dinas Purbakala. Sebelum dibuka menjadi sebuah obyek
wisata, Candi Sukuh dikelola oleh Balai Penelitian Peninggalan Purbakala (BP3)
Dinas Purbakala Jawa Tengah. Dibukanya Candi Sukuh sebagai obyek wisata bermula
dari adanya otonomi daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pemda Karang
Anyar bertugas sebagai penyedia fasilitas dan pengelolaanya dan BP3 sebagai
penjaga keamanan dan kelestarian candi. Untuk hasil pendapatan dari obyek
wisata ini, dibagi 50% untuk Pemda dan 50% untuk BP3. Untuk masalah pembagian
tugas dalam pengelolaan dibagi menjadi dua. Pemda mengurus bagian penjualan
tiket dan pengelolaan fasilitas lain. Sedangakan BP3 menugaskan satpam yang
berjaga 24jam untuk menjaga keamanan dan kelestarian candi. Dengan dibukanya
Candi Sukuh sebagai obyek wisata, cukup mempengaruhi warga sekitar. Karena
lokasi candi yang berada di dataran tinggi dan bentuk geografis yang berupa
perbukitan, cukup sulit untuk mengembangkan dan membangun fasilitas candi dan
sulit bagi masyarakat untuk membuka usaha disekitar candi. Sehingga hanya
sebagian kecil dari masyarakat yang ikut berpartisipasi dengan adanya obyek
wisata ini. Jika pun ada, hanya sebagai pekerjaan sambilan. Mayoritas pekerjaan
penduduk sekitar adalah berkebun dan bertani. Kerjasama pengelola dengan
masyarakat seekitar banyak dilakukan dalam beberapa hal. Seperti
pembagian pengelolaan wilayah. Pemda hanya mengelola obyek wisata. Untuk
pengelolaan Kamar mandi dan fasilitas warung makan atau toko diserahkan kepada
penduduk sekitar. Parkir di Candi Sukuh ini masih terbilang jauh dari kata
layak karena hanya bisa memuat 4-6 mobil. Untuk kendaraan roda dua hanya
diparkir di depan warung-warung yang tersedia disekitar objek wisata. Untuk
memperluas wilayah candi cukup sulit. Karena masih adanya sengketa tanah
sehingga mempersulit pengembangan obyek wisata ini.
11. Legenda Seputar Candi Sukuh
Belum banyak wisatawan menyadari, bahwa Candi Sukuh yang
terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, sesungguhnya merupakan
candi paling menarik di Jawa. Bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya yang
mengentalkan hal itu. Namun suasana alam yang berkabut tebal serta hawa dingin
menusuk tulang yang selalu tersaji saban hari, sering kali menebar nuansa
mesum. Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi
relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus
yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari
popularitas Candi Sukuh. Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya
masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si
wanita melompati relief tersebut. Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji
kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika
kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi
sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah
berselingkuh.
Dalam perkembangannya sekarang, cukup banyak anak-anak usia
ABG yang datang ke sini berhasrat mengikuti tradisi dan kepercayaan para
leluhur tadi. Tapi, karena malu, kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau
benar terjadi pada diri mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak
dilaksanakan. Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya
mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu
masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran
yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena `suwuk`. Relief ini
mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa
Syiwa dengan istrinya, Parwati. Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama
dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang
arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman
prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran
tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi.
Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri
di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai `ububan`
(peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api
tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol
pada saat pembangunan candi ini. Di bagian tengah terdapat relief yang
menggambarkan Ganesya dengan tangan memegang ekor. Sengkalan rumit ini dapat
dibaca `Gajah Wiku Anahut Buntut`, merujuk tahun 1378 Saka atau tahun 1496
Masehi. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk
dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris,
tumbak dan pisau. Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering
disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia
setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon,
mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di
puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat
tulus dan hati bersih juga akan terkabul.
Berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya, Candi
Sukuh disebut telah menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya, yang
menjelaskan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di
tengah-tengahnya. Bagian tengah itu dipercaya sebagai tempat yang paling suci. Penyimpangan
itu terjadi karena saat Candi Sukuh dibangun, era kejayaan Hindu sudah memudar,
dan mengalami pasang surut. Sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke
permukaan lagi, yaitu kebudayaan prasejarah zaman Megalitikum. Dengan demikian,
budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candi
tersebut. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga
dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu. Di sebelah selatan jalan
batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala.
Sudamala adalah salah satu dari lima ksatria Pandawa (Pandawa Lima) atau yang
dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil `ngruwat`
Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru akibat perselingkuhannya. Sadewa
berhasil `ngruwat` Bethari Durga yang semula raksasa betina bernama Durga atau
Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya aslinya sebagai seorang bidadari.di kayangan dengan nama Bethari Uma
Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah
berhasil `ngruwat`. Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.
Di tempat ini juga dapat ditemui arca setinggi 85 cm, luasnya
sekitar 96 meter persegi, serta obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya, yakni
cerita tentang Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah
seorang madunya bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena
kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam
bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga
berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya (racun) di ekor kuda Uchaiswara
sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda
dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa. Sebelah
selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan
ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan
kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut. Di dekat candi
kecil terdapat tiga arca kura-kura yang cukup besar sebagai lambang dari dunia
bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama
Hindhu yakni `samudra samtana` yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai
kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan
(tirta prewita sari).
Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang.
Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat
prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh
adalah candi untuk pengruwatan. Dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala,
Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan Candi Sukuh pada
zamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus)
ruwatan. Sedangkan ditilik dari bentuk candi yang mirip dengan “punden
berundak”, candi ini ditujukan sebagai tempat pemujaan roh-roh leluhur. Tradisi
`ruwatan` juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penganut Hindu yang
berdiam di sekitar kawasan candi sampai sekarang.
C. Kesimpulan
Potensi yang dimiliki Candi ini
sangatlah banyak. Karena keterbatasan akses dan masih adanya masalah internal
membuat pengembangan obyek wisata ini menjadi tersendat. Kerjasama antara
masyarakat sekitar dengan pengelola sudah cukup baik. Dengan dibukanya obyek
wisata ini, dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Tetapi, sejauh ini
hanya menjadi sebagai mata pencaharian sampingan dan belum menjadi mata
pencaharian utama. Dengan banyaknya mitos yang terdapat di obyek wisata ini
sangat dimungkinkan membuat obyek wisata ini menjadi terkenal. Ini bisa
dijadikan salah satu strategi daya tarik obyek wisata. Selain itu, Candi Sukuh
ini masih cukup sering dijadikan sebagai tempat ibadah umat agama hindu. Dengan
dibukanya candi ini sebagai obyek wisata, kegiatan keagamaan tersebut tidak
terganggu. Justru menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang
berkunjung. Diharapakan kedepannya Pemda Karanganyar bisa membuat obyek ini
lebih baik, lebih terkenal dikalangan masyarakat sehingga semakin banyak
masyarakat yang mengetahui dan berkunjung ke obyek wisata ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suwarno
Asmadi (Pemandu Wisata) dan Haryono Soemadi, 2004, Candi
Sukuh. Antara Situs Pemujaan dan Pendidikan Seks. Surakarta: C.V. Massa Baru.
P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan.